Be the Best in What You Do

Sesederhana kita menghirup udara,

Semerasa itulah merasakan arti ditambahnya detik detak hidup.

Sesederhana kita mengedip mata,

Semudah itulah kita bangkit,

Semoga segala hal yang kita lakukan menjadi yang terbaik yang kita wariskan.

Amin.

Kenyamanan Haq dan Hakiki Anak-anak Kita (Sebuah Potret)

Gambar

Di sebuah jalan sebuah kawasan tempat tinggal, tempatnya Alhamdulillah cukup baik penataannya. Tidak terlalu padat, meski cukup padat juga dibanding 5-10 tahun lalu. Padatnya bertambah dengan semakin banyaknya anak-anak, sementara tempat tinggal mereka makin sempit karena rumah neneknya yang dibagi dua sehingga makin sempitlah ruang kenyamanan mereka.

Beberapa anak nongkrong pada jam-jam tertentu menjadi pemandangan yang sering kita temui di hampir semua sudut tempat tinggal kita di Jakarta ini. Suara yang semakin bising membuat kenyamanan dan ketenangan semakin langka di kota ini. Sekedar ketenangan saja sudah sangat langka. 

Bermain demprak, layangan, bentengan, kejar-kejaran, bahkan ngobrol saja sudah cukup menimbulkan kebisingan yang tak mereda. Hampir tak kenal waktu. Akhirnya, wajar saja jika sang pemilik rumah ada yang merasa terganggu dengan suara mereka yang bising tak kenal waktu. Memang ada juga karakter tetangga rumah tangga muda yang permisif, kebal, atau memang tidak sedikitpun merasa terganggu. Entah, padahal di depan rumahnya sendiri. Kenyataannya tidak semua pribadi rumah tangga seperti itu, bukan? Apalagi bulan puasa ini, makin jadi saja kadang, petasan seenaknya dipasang, masalahnya tak kenal waktu, dan rusuhnya lagi adalah mereka bukan anak-anak yang tinggal di gang tempat mereka bermain. 

Pertanyaan kadang melas di hati, kok mereka tidak dicari ya oleh orang tua mereka? Kemana orangtuanya hingga anak-anak ini keluyuran entah bagaimana? Sampai harus menerima kekesalan beberapa tuan rumah yang merasa terganggu? Bingung, orangtua yang bagaimana yang membiarkan anak mereka main tak menentu.

Ilustrasi di atas adalah salah satu potret kondisi anak-anak di sekitar kita, menyisakan satu tanya, wahai orangtua, dimanakah kalian? Kalianlah penanggung jawab kebaikan anak-anak kalian.

Anak & Masa Depan

Senyuman anak-anak kita adalah kedamaian. Semuanya menunjukkan ketulusan tanpa beban. Rasanya semua serba damai, tenang, syurga. Segalanya terasa tak ada apa-apanya lagi jika sudah melihat senyuman anak-anak kita. Siapapun itu, kecuali bagi yang begitu redup cahaya hatinya.

Anak-anak di zaman sekarang memang butuh ekstra perhatian. Sederhananya, jika kita melihat profil anak-anak saja kelakuannya seperti gambaran di atas, dan jika keadaan keluarga terdekatnya juga masih begitu, terbayang sudah masa depan mereka yang (sulit kalau mau dibilang cerah). Sikap ini bukan bermaksud pesimis, sama sekali bukan. Artinya, keadaan mereka akan berubah lebih baik bila mereka sendiri mau melakukan perbaikan, terlepas dari seburuk apapun keadaan keluarga mereka. 

Ada juga seorang akhwat muslimah yang sangat baik perilakunya, bahkan seorang yang sangat cinta dengan pergerakan dakwah serta profesional dalam urusannya. Padahal ayahnya adalah pemabuk dan tidak bekerja. Namun jiwanya mencari dan urusan ini memang akhirnya diijabah Allah menjadi hidayah atas kehidupannya. Jadi, bukan semata menyalahkan keadaan, kan?

Anak-anak yang masih belum tentu arah ini sebenarnya memiliki beberapa masalah latar belakang. Pertama, suasana rumah yang tidak nyaman untuk istirahat. Ya, sangat disayangkan bahwa cita-cita keluarga kebanyakan (yang sering mengatakan kami orang miskin :)) belum memberikan kenyamanan yang terbaik buat anak-anak mereka. Sehingga semuanya serba pas-pasan. Semua tergantung cita-cita kita sebenarnya, namun inilah kenyataannya, keadaan sering disalahkan oleh yang punya kehidupan, atas nama manusia. Rumah asalkan bersih dan apik sebenarnya bisa nyaman, namun itulah, lagi-lagi keadaan sehingga untuk rumah kontrakan meski kecil pun ogah untuk berupaya bersih, walaupun ‘ngontrak’ lalu beralasan malas bersih-bersih hanya karena bukan rumahnya, lha, yang tinggal di kontrakan itu jelas mereka, kok, malah tidak sayang pada dirinya sendiri. Sungguh aneh cara berpikir kebanyakan kita yang hampir sulit untuk dikatakan bisa diterima akal sehat. Karena kondisi inilah anak-anak akan cenderung betah di luar rumah. Kasihan.

Kedua, ruang bermain yang semakin berkurang di Jakarta. Akhirnya kebanyakan anak-anak bermain memenuhi jalan raya dan jalan-jalan tempat tinggal kita. Alhasil, bising menjadi tak terhindarkan lagi.

Ketiga, kenyamanan hakiki di rumah. Maksudnya, bagaimana perasaan mereka diayomi. Tidak hanya sekedar jajan, makan, main yang diberikan. Namun pengayoman batin mereka yang kering, jauh dari perhatian orangtua mereka sendiri. Makanya jalan lainnya mereka mencari perhatian orang lain, sehingga kekesalan orang lain sebenarnya perhatian yang mereka butuhkan, meski bukan itu yang sebenarnya mereka inginkan. Pengayoman dan perhatian batin ini yang menjadi kelemahan sebahagian besar keluarga Indonesia.

Allah, semoga keluarga dan para tetangga di sekitar kita diberikan hidayah dan kerahmatan sehingga mereka bisa memberikan yang haq dan hakiki kepada anak-anak kita. Agar keadaan apapun yang melingkupi kita tidak menjadikan mereka dan kita menjadi pribadi yang membuat orang lain tidak nyaman dengan keberadaan kita. Allah, semoga Engkau membimbing mata hati para orangtua kami untuk bisa membimbing kami menuju masa depan yang lebih indah. Semoga hati-hati anak-anak kami, penerus kami, adalah hati yang mampu mendengar nasihat orangtua dan yang lebih tua, semoga tiada dendam menyelusup di hati kita semua. Amin.

 

Do Good… See it… Well done!

Padang rumput image

Salah satu hal yang patut kita syukuri bersama adalah fenomena munculnya beragam disain atau model dalam cara muslimah menutup auratnya. Indah. Semakin hari, ini hal yang patut disyukuri selalu. Ketika kesulitan terasa di masa lalu, justru kini berbalik 180 derajat. Indah.

Ada satu nasihat, yang juga sering penulis lafadzkan dalam untaian doa adalah tentang makna kesempurnaan. Nasihatnya begini, “Sempurna itu di akhirnya.” Yup.

Waktu memang singkap misteri semua kehidupan. Nobody knows where it goes. Semua hulu dan hilir kebaikan pada akhirnya memang kita arahkan ke satu kata “sempurna”. Maraknya muslimah yang kini semakin menyadari kesempurnaan hambaNya dalam rangka taat sangatlah lebih bernilai di hadapan Allah jika selalu diikuti dengan ketaatan dan ketundukan yang lain. Tentu semakin lama harus semakin menyeluruh. Beberapa hal yang bisa mendukung semakin bernilainya kita di hadapan Allah yang Maha Indah dalam menutup aurat adalah yang akan disampaikan berikutnya.

Pertama, penyadaran. Hal yang baik selalu didahului dengan rasa sadar (conciousness). Bahkan di dalam semua tindakan kita semestinya benar-benar dilandasi dengan rasa sadar. Jika menjalani hidup ini dengan ketidaksadaran (unconciousness) bisa jadi hidup yang kita jalani lebih seperti zombi atau robot. Hati kita bukan menjadi raja bagi tindakan kita. Seseorang baru disebut ‘sadar’ bila ia telah melalui proses berpikir yang mendalam. Sehingga dengan begitu, kita akan terhindar dari sikap ikut-ikutan tanpa dasar.

Kedua, teladan. Perbaikan diri seseorang sangat efektif bila dengan keindahan melalui teladan sikap. Percaya atau tidak, sikap atau tindakan itu lebih banyak ‘berbicara’ daripada melulu nasihat, meski tentunya tanpa mengurangi esensi nasihat itu sendiri. Ini penting, mengingat banyak faktor yang salah satunya, misalnya, usia. Betapa banyak orang yang lebih muda sebenarnya ingin menyampaikan kebaikan namun bingung cara menyampaikannya. Betapa inginnya pula teman sebaya kita menjadi sahabat yang lebih sempurna dalam ketaatan pada Sang Khaliq. Nah, dengan sikap dan tindakan seorang muslimah dalam menutup auratnya dengan kaffah justru lambat laun akan diterima dengan baik sebagai hal yang memang seharusnya.

Ketiga, hidayah. Bagaimanapun baiknya seseorang adalah karena ikhtiar dan kehendak Allah juga. Untuk itu semoga kita senantiasa istiqamah dalam menyebarkan kebaikan. Wllahu’alam.

Hitam Putih Manusia

Selama kita hidup, tidak akan pernah ada untaian peristiwa yang berhenti. Setiap detik waktu berjalan, sebanyak itu pula peristiwa tengah dirangkai. Manusia memang makhluk yang penuh momen, penuh warna, penuh rasa, dan segala emosi yang ada.

Manusia memang bukan malaikat. Malaikat yang suci dan selalu bertasbih memuji Allah. Manusia juga bukan setan atau iblis yang selalu salah. Manusia ternyata memang telah diselipkan dua buah jiwa yang hitam-putih. Itulah sebabnya manusia sering lupa. Kadang ia bisa seindah malaikat, kadang manusia bisa seburuk setan. Sepertinya memang tiada yang lebih buruk yang mewakili keburukan itu sendiri bukan daripada sang setan itu sendiri. Tentu tak ada yang layak mewakili keindahan selain malaikat.

Pernah ada guyonan SMS. Begini tulisannya:

Iblis minta PENSIUN

“Ya, Allah, hamba minta pensiun dini saja,” ucap iblis. Allah menjawab dan bertanya, “kenapa kamu minta pensiun dini padahal kamu yang minta untuk selalu menggoda manusia?”

Jawab Iblis, “hamba minta ampun, ya, Allah. Amit-amit sekarang kelakuan manusia sudah melebihi kami, hamba khawatir justru kami yang tergoda oleh manusia. Ya, Allah, makanya hamba minta pensiun dini saja.”

Iblis pun melanjutkan. “Bayangkan saja, manusia BERZINA, yang enak dia, eh, yang disalahkan hamba. Manusia KORUPSI, dia yang menikmati, katanya godaan hamba. Manusia SELINGKUH, dia keenakan, katanya dipengaruhi hamba. Manusia ke BAR, di sana bernyanyi dan minum minuman keras, malah berbuat mesum segala, katanya disuruh hamba. Yang paling sedih, nih, setiap musim haji, hamba dilempari batu oleh berjuta-juta manusia di Mekkah, padahal yang melempari batu itu sebahagian kawan hamba juga. Minta ampun!!! Ya, Allah, hamba tak menyesal minta pendiun dini.”

Kisah di atas memang analogi yang menggambarkan betapa terpuruknya kelakuan manusia sekarang. Kebanyakan memang. Sikap atau perilaku seperti ini tentu bukan semata-mata muncul dengan sendirinya. Awal dari sekedar coba-coba, lalu ada kesempatan, lalu jadi kebiasaan. Alhasil, keadaanlah yang sering disalahkan.

Manusia juga banyak yang berhati malaikat. Contohnya banyak. Tinggal lihat Oprah atau Kick Andy, maka Anda akan melihat begitu banyak manusia yang berhati malaikat. Bagaimana dengan tayangan gosip? Pikir saja sendiri, sebagian besar perilaku mereka lebih mewakili yang mana?

Hitam-Putih

Manusia memang diciptakan dari air mani yang hina. Dari susunan tulang belulang yang rapuh, dibalut daging dan dikemas dalam kesing yang beragam. Kemudian Allah memuliakannya daripada makhluk ciptaanNya yang lain dengan diberikannya akal. Akal itu pun dimaksudkan agar bisa membedakan baik atau buruk (harusnya demikian).

Selain itu semua, ternyata ada segumpal daging yang menurut manusia sempurna, Muhammad, darinyalah segala sesuatu berawal. Jika ia baik, maka baiklah manusia, sebaliknya, jika ia buruk, maka buruk pulalah manusia. Anda tentu paham, ialah hati. Jadi, secara fisik, manusia disusun dari jasad yang jelas dilihat kasat mata, sedangkan yang tidak kasat mata atau invisible adalah hati.

Benarkah hati tak terlihat? Oleh mata, ya. Oleh hati yang lain, nanti dulu. Oleh mata yang lain? Memang tidak, namun bisa diamati secara tidak langsung. Dari mana?

Perhatikanlah perilaku manusia sekitar kita. Bukan tampilan luarnya. Lihat dan amati perilakunya. Anda bisa menilai sendiri bagaimana hatinya. Jika Anda berbincang, perhatikan bagaimana sorot matanya, jika Anda terbiasa mengamatinya, tentu mudah menangkap maksudnya.

Hitam-putihnya manusia memang baru teruji (utamanya) kalau ia dihadapkan pada ‘masalah’. Kalau ada hal yang tidak atau belum sesuai dengan harapan manusia, maka bisalah itu dikatakan masalah. Nah, hitam-putih manusia di sini yang kelihatan. Manusia yang mengeluarkan The White, tentu tak terlalu menganggap masalah, beda dengan The Black.

Hebatnya, Tuhan memang Maha Adil. Coba kalau tidak ada pernyataan dariNya bahwa kita diberi cobaan sesuai kapasitas kita, wah, pikir sendiri deh akibatnya pada hidup. Berikut ini sedikit iustrasi wacana tentang masalah dan kehidupan.

Anggap saja kita memiliki segalanya. Kita pun ‘cukup’ bisa menyikapi segala hal. Namun Tuhan ‘kan Maha Tahu, Allah Maha Tahu bahwa kita belum diuji untuk sesuatu yang menurutNya, “Hmmm…layak diuji, nih.” Kira-kira begitulah sederhanya. Ketika diuji, dengan tema yang Tuhan beri. Hasilnya… galau…resah…tersudut…diabaikan…bla…bla…bla…

Lantas sempat limbung. Ternyata kalau memang dasarnya hati kita baik (memang fitrahnya baik) didukung dengan KehendakNya serta ‘Suka-Suka-Nya”, maka bagi hati akan mudah diberi petunjuk. Maka muncullah sisi The White. Padahal sebelumnya sempat abu-abu sebelum (jangan sampai) menjadi The Black.

Itulah hitam-putihnya manusia. Bukan malaikat, bukan pula iblis. Manusia sering lupa, bisa baik luar biasa. Namun manusia bisa MEMILIH hitam-putihnya. Maka di sanalah takdir akan menanti. Tuntunan itu tentu lewat keyakinan pada Tuhan, bukan pada siapa-siapa lagi. Memang tidak serta merta hati menjadi ‘Black’, kalau boleh di sini menggambarkan, mungkin hati itu akan sedikit ternoda, ada noktah, atau ada sisi yang meng-abu. Syukurnya, bila belum terlambat, hati itu masih bisa diselamatkan.

Pertarungan hitam-putih itu sejatinya akan berlangsung hingga akhir hayat kita. Tinggal bagaimana permintaan kita, apakah kita minta dimatikan dalam keadaan White? Jika sudah, maka sudahkah kita mengupayakan sesuai ke arah yang kita minta? Misalnya, minta diberikan nafkah yang berkah, sudahkan kita melakukan segala daya dan upaya untuk ke arah yang kita minta? Hmm, Anda yang tahu jawabannya.

Rasul pernah berpesan:

“Tidak mengapa kekayaan bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah, tetapi kesehatan bagi orang yang bertaqwa lebih lebih baik daripada kekayaan; dan jiwa yang baik termasuk nikmat yang paling besar.” (HR. Bukhari)

Saudaraku, kita memang memiliki kehidupan sendiri, cerita kehidupan ini memang tentang kita, bukan yang lain, bukan orang lain, mereka sekedar cermin buat kita. Kita, manusia bukan berdiri sendiri, bukan daging hidup, bukan robot, namun kita adalah manusia yang memiliki pilihan, makanya kita adalah raja. Memang kita selalu dihadapkan pada masalah. Peran kita hanya kita yang bisa menjalaninya. Masalah memang pasti ada dan kita bisa mengelolanya.

Untuk masalah A-Z, syukur kita bisa mengatasinya, jika yang datang masalah jenis AA-ZZ atau triple-nya, maka pasti seni menghadapinya juga beda dengan daya yang berbeda pula. Makanya kita suka lupa, ternyata untuk satu masalah yang sebenarnya buat orang lain tidak berat, kita sering lupa bahwa sejatinya kita sedang dites, mampukah kita menyikapi (yang kita anggap) masalah yang kita pandang berat? Padahal banyak beban saudara kita yang jauh, jauh lebih berat masalahnya?

Itulah manusia dengan hitam-putihnya, bagaimana manusia masih bisa menampilkan sisi PUTIH dalam SEHITAM* apapun keadaan yang mendera kita. That’s how our story goes!

*dalam pandangan manusia, ‘coz Allah selalu membaikkan kita

Wallahu’alam

Insya Allah, Insya Allah, Ada Jalan

by: tiut

Segala Puji bagi Allah… Alhamdulllah jemari ini menari kembali di atas keyboard. Meski terkendala teknis urusan modem, namun kerinduan ini tampaknya menemukan muaranya untuk kembali sharing dengan pembaca sekalian.

Suatu kali sang hati pernah bertanya kepada pikiran, kemana hendak kakimu melangkah bila ada kesempatan ke luar negeri? Tanpa berpikir panjang, ia langsung menjawab: pasti ke Sungai Thames di London, pasti menyenangkan di atas perahu sambil menikmati indahnya kota tua dengan bangunan yang menawan meski tua. Tempat lainnya yang ingin dikunjungi adalah Belanda. Sang pikiran membayangkan indahnya berdiri di tengah warna-warni tulip yang menggemaskan. Tak sampai di situ, sang pikiran pun meneruskan kembaranya ke ujung belahan selatan bumi, New Zealand. Alamnya yang indah, lapang yang hijau, membayangi sang pikiran kiranya bisa ke sana. Wuiiihhh…indahnya!

Sang pikiran pun tertegun sebentar kemudian menatap sang hati yang sendu tersenyum. Pikirnya, ia pun ingin tahu bagaimana dengan sang hati sendiri? Bertanyalah sang pikiran, “Wahai hati, hendak kemanakah kakimu melangkah bila kau memiliki kesempatan ke luar negeri? Aku telah memenuhi pintamu, kini giliranmu,” tanya sang pikiran pelan dan penasaran.

Sang hati pun terpejam sambil meneteskan air matanya, seakan ia merasa tempat yang akan disebutnya terlalu suci bagi hatinya yang keruh, seakan ia merasa bahwa tempat yang akan diucapkannya terlalu mulia bagi hatinya yang hina. Akhirnya sang hati pun mengucap lirih, “Jika kesempatan itu Allah berikan, aku hanya ingin berkunjung ke tempat mulia, yang di atas tanahnya terdapat jasad suci Nabi, SAW dan di tempat mulia di mana ada bangunan hitam yang merupakan pusat orbit dunia di bumi. Ya, Madinah dan Makkah. Jika pun bisa, insyaAllah, tanah waqaf dunia Islam, Al Aqsa adalah tempat ketiga itu.”

“Mengapa tempat itu?” tanya sang pikiran.

“Tempat itulah satu-satunya tempat yang Allah ridhai kunjungannya, Allah jamu langsung di rumahnya, memang bumi ini seluruhnya milikNya. Namun hanya tempat inilah yang mulia dan bergelimang pahala, apalagi, tiadalah balasan bagi orang yang berkunjung ke sana selain JannahNya. Tempat lain memang indah, namun di sanalah rumah Tuhanku, Allah. Aku rindu padaNya.”

Hmm, sang pikiran pun tertegun kembali memikirkan ucapannya dan ucapan sang hati. Begitukah? Ia bertanya lagi “Sebesar apakah keinginanmu?” Sang hati pun menjawab, “Sebesar nikmat Allah atas Islam dan Iman di dalam diriku. Bukankah nikmat Allah itu tak terhitung?” Sang pikiran pun tersenyum mengangguk. Tak lama sang pikiran pun bertanya, “Bisakah kita bersama memiliki keinginan itu? Bukankah hati dan pikiran harus bersama?” Sang hati pun menjawab, “Tentu! Karena itu kita butuh tubuh ini untuk mengamalkannya, baik aku, kau, dan tubuh ini!” Pikiran pun semangat! Yap! “Aku akan beritahukan tubuh ini segera, karena aku pun mulai berpikir, dan ku yakin kau pun setuju dengan pikiranku!” seru sang pikiran. “Apa itu?” tanya hati. Sang pikiran pun mendeklarasikan tekadnya, “Wahai hati, niatmu akan terwujud dengan keyakinan, dengan tekad. Maka aku bercita-cita demi keinginan sucimu yang tak terbantahkan. Aku, kau, dan tubuh ini bercita-cita tidak akan menginjakkan telapak kaki ini ke tanah lain, kecuali setelah menjejakkan kaki ini ke tanah suci…,” sang pikiran terhenti seketika tubuh mendengarnya.

“Ya, takkan ku tempelkan dahi ini ke bumi manapun sebelum aku menempelkan kening ini pada sujudku di depan ka’bah!”

“Woooo…..www!! Mantap itu! Bagaimana kau bisa seyakin itu, saudaraku?” tanya sang pikiran.

“Dasar pikiran, kau pantas bertanya begitu. Bukankah kita memiliki hati yang yakin? Dan cita-cita ini, bukankah itu tugasmu untuk mengimajinasikannya hingga kuat dan nyata?” tanya sang tubuh.

“Aha! Ya. Aku akan melakukannya dengan yakin,” seru pikiran.

“Alhamdulillah…!” seru sang hati, pikiran, dan tubuh bersama.

Memang tidak ada yang tahu bagaimana Allah yang Maha Mendengar akhirnya memproses obrolan ketiganya. Ketika Allah telah menggerakkan alam raya ini untuk kemudian memberangkatkan ketiganya ke tanahNya yang suci.

Sang hati, sang pikiran, dan tubuh itu pun tak bergeming dari pandangan di jendela pesawat yang membawa mereka. Haa…? Ini padang pasir ya? Ini Madinah ya? Ini benar-benar tanah yang di dalamnya ada jasad suci Nabi, SAW ya? Sejuta tanya merangkul mereka hingga hembusan panas angin padang pasir menerpa pipi sang tubuh, panas. Namun, semuanya sirna menyadari semua keMahaBesaran Allah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

“Nah, sekarang bukan waktunya membayangkan lagi, namun mari kita syukuri dengan segala hal yang bisa kita lakukan di sini untuk memenuhi kerinduan kita, kan?” seru sang hati. Sang pikiran dan tubuh pun mengamini dan berucap tasbih yang tiada henti. Sang hati tak pernah berhenti terharu menyadari kekerdilan dan kehinaan dirinya. Air matanya jatuh menganak sungai di pipi sang tubuh. Sang tubuh pun bergetar menyadari dirinya yang teramat kotor, sedang sang pikiran semakin merasa hina. Akh, memang semua mesti terasa pada titik terendah dirinya jika sudah di hadapan Rumah ini. Sang pikiran pun penasaran bertanya pada sang hati.

“Wahai hati, saat mata ini melihat Rumah Hitam itu, pertama kali, apakah yang kau rasakan sebenarnya?”

Jawab hati, “Kesenduan… keteduhan… rumah itu begitu indah, mungkin kalau ada kata lebih tinggi lagi dari indah, itulah dia. Kalau kamu?”

“Aku? Aku cuma berpikir kapan aku bisa kembali lagi,” ujar sang pikiran.

“Aamiin…!” respon si tubuh. “Malaikat pasti mengamini!”

Ketiganya pun tertawa bahagia…teringat ikhtiarnya dan doa dan amal ibadahnya yang mereka tabung. Allah itu memang magic! Kadang mereka pun masih tak percaya Allah membawa mereka ke sana! Tak pernah menyangka, ya iyalah, orang cita-cita berarti mereka memang merencanakan.

“Aku masih merasa tak pantas berada di tempat mulia ini, aku hina,” kata sang hati.

“Ya, aku juga. Allahlah yang Maha Memantaskan. Allahlah yang Sempurna,” ucap sang pikiran.

“Kita pasti bisa kembali lagi,” ucap sang hati yakin. “InsyaAllah… insya Allah… Ada jalan,” kata sang tubuh.

“Uhmm…ehm…,” sang hati melirik sang pikiran. Sang pikiran bertanya, “What’s up? Apa ada yang terlewat?”

“Uhmmm, tapi nanti kita berenam ya…! Nambah gitu jadi berenam,” ujar sang hati.

Sang pikiran pun berpikir, “Berenam ya? Maksudnya…? Hai, tubuh, kok kamu senyam senyum begitu? Memangnya kamu tahu apa?” sang pikiran melihat sang tubuh. Namun ia tak menjawab, hanya jempolnya tanda “Siip…” diangkat. Tangan satunya pun dikepal tanda setuju juga.

Sang hati pun, bilang, “Aku sendiri, engkau sendiri, ia pun sendiri, bukankah berdua itu lebih baik?” ia melirik pikiran. Sang hati berbisik, “Semoga ia paham.”

“Aaaaahaa….ya Alhamdulillah kalau begitu! Ya, aku setuju, InsyaAllah, Insya Allah, ada jalan. Yuk, mari kita cita-citakan!” seru sang pikiran gembira.

Mereka pun semakin yakin bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal baik mereka. Berhubung pesan ini selalu terngiang di benak mereka. Allah segalanya, karena itu sang pikiran pun berpesan, “Wahai hati, berdoalah dengan yakin. Aku memang punya banyak keinginan di pikiranku, namun aku rela meletakkan seluruhnya demi engkau yang mendoa. Aku letakkan semua keinginanku agar engkau beroleh ketetapan dan ketentuan hanya dari pintuNya. Dan takkan ku sertakan mereka (keinginan-keinginan nafsu dan duniaku) dalam doamu, meski aku ingin, namun aku tidak mau, aku jauhkan mereka agar engkau bertambah tenang dalam meminta di depan pintuNya.  Aku takkan menyertakannya meski dalam lintasan, karena engkau sedang berharap pada yang Maha Terbaik. Insya Allah, Insya Allah, ada jalan. Pasti!” dukung sang pikiran.

Sang hati pun menangis, “InsyaAllah, InsyaAllah, doakan aku… kelak kita bisa kembali ke Baitullah… ber-enam ya!!”

Melayanglah seluruh hasrat dan semangat ke haribaan PemilikNya, karena sesungguhnya, ruh ini sungguh merindukanNya.

“Well, do you learn something? Then Share it!”

***

Teriring doaku untuk kaum muslimin, semoga mereka pun dapat ke sana, Baitullah. Amin.

Jakarta, 25 Ramadhan 1432 H

Keterasingan yang Istimewa

Pernah dengar istilah ‘bercermin di air keruh’? Atau pernah dengar ‘bernapas dalam lumpur’? Istilah ini setali tiga uang. Memang masih bisakah kita bercermin di air yang keruh? Atau bernafas dalam lumpur? 🙂 Bahkan bernafas dalam udara yang pengap dan kotor pun mungkin sudah sesak . Tentu dalam bayangan kita tinggal menghindar atau mengambil apapun yang bisa menutup hidung kita.

Ada banyak kondisi dalam kehidupan kita yang begitu ‘keruh’. Sementara kita (bagi yang sadar atau aware) yang masih berusaha menjadi ‘orang baik’ tentu merasa pengap jiwa. Kanan-kiri kita, atas-bawah kita, menghalalkan segala cara, me’lazim’kan yang ‘samar’, mem’biasakan’ yang salah, dan banyak sikap lainnya yang boleh dibilang benar-benar dianggap ‘gaya’ dan ‘biasa’ saja oleh sebagian yang menganggap demikian. Bahkan dalam kacamata mereka, orang yang idealis dianggap ‘lebay’. Sama, sebaliknya, yang idealis akan menganggap yang non-idealis sama ‘lebay’-nya.

Apa sajakah yang dianggap ‘asing’ alias aneh di zaman seperti ini? Berikut ini beberapa hal yang sering kita temukan di sekitar kita.

  1. Seseorang yang ingin membuat karya tulis ilmiah yang asli pada bagian pembahasan (terutama).
  2. Seseorang yang ingin mengerjakan tugas sekolah atau kuliah dengan mandiri.
  3. Seseorang yang ingin menyelesaikan tes dengan jujur.
  4. Seseorang yang berusaha melakukan sesuai komitmen atau aturan.
  5. Seseorang yang ingin memberi lebih pada setiap pekerjaannya.
  6. Seseorang yang ingin melalui jalur aman, bukan jalur ‘cepat’ asal dapat.
  7. Seseorang yang sederhana dalam sikap dan penampilan.
  8. Seseorang yang lebih mempertimbangkan pribadinya bukan fisik semata.
  9. Seseorang yang mencari tempat shalat pada waktunya saat di tempat hiburan atau belanja. (Mau bukti? Toh masih lebih banyak yang ‘lupa’ pada kewajibannya, di rumah lupa apalagi di tempat umum)
  10. Laki-laki yang bersedia berkorban memberikan tempatnya pada wanita.
  11. Wanita atau pria yang memilih pasangan tanpa proses ‘berlama-lama’ pacaran.
  12. de el el….

Dan masih banyak hal ‘asing’ lainnya yang dianggap aneh di zaman begini. Sekedar tahu saja. Bahwa Rasulullah SAW menganjurkan kita menjadi orang asing di dunia ini karena justru mereka spesial di akhirat nanti, dan itu PASTI! Wallahu’alam.

2011 : Our Dreams Come True!

Desember ini sudah hampir berakhir, penghujung tahun 2010 yang tentunya menyimpan banyak kenangan, peristiwa dan hikmah yang banyak. Jika kita disuruh menyebutkan satu per satu pencapaian kita tentu ada yang sampai, ada yang sampai namun belum sepenuhnya sesuai, atau bahkan tertunda, atau mungkin belum berhasil (baca=gagal). Meskipun sebenarnya saya pribadi sangat jarang menggunakan kata ‘gagal’ karena kata tersebut identik dengan kesan negatif. Yup, itulah arti sebuah kata. How it can effect our mind!

Banyak tulisan yang senada mengungkapkan tentang makna waktu. That’s good! Semakin banyak kita diingatkan tentang waktu maka semakin baik kita menghargai kualitas dan arti waktu. Tidakkah kita pernah berpikir sejenak saja untuk melihat betapa ‘panjang’ rentang waktudi belakang hidup kita? Dan itu semua tidak setitik pun lepas dari mata Allah. Semuanya menantikan pertanggungjawaban.

Dalam diri kita pasti ada terselip sesal atas sesuatu yang pernah salah atau tak pantas kita lakukan. Betapa inginnya kita berhijrah kepada pribadi yang lebih baik. Pribadi yang lebih kuat. Bahkan kita ingin sekali mengulang waktu (padahal jelas tidak mungkin) agar apa yang dahulu salah tidak kita lakukan. Padahal kesalahan sebenarnya mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik. Bayangkan jika kita menjadi pribadi yang tak pernah salah, maka kita tidak tahu pada detik yang mana kita tidak lebih baik, detik mana pulan yang lebih baik. Dengan kata lain bila kita ‘sudah’ baik, to’. That’s it. Jadi lebih baik tidak, tidak lebih baik pun, tidak. Nah, bingung kan?

Namun kebesaran hati kitalah yang membangun jiwa kita. Senantiasa setiap waktu kita merasa ‘harusnya’ memaafkan, ‘harusnya’ memberi yang terbaik, ‘harusnya’ berbuat begini, dan makin banyak ‘harusnya’ yang lain yang dulunya luput dari pikiran kita, yah, karena pikiran kita tertutupi emosi yang berlebihan.

Perjalanan waktu yang kita lalui sebenarnya memberikan kita kesempatan untuk membuat kenangan (meminjam istilah Supernya Pak Mario).

Tahun 2010 ini bagi saya adalah tahun perbaikan pribadi (lahir batin) saya. Tahun 2010 ini adalah tahun ‘penajaman’ jiwa dan pribadi saya. Believe or not, kesedihan dan keperihan yang dirasakan sebenarnya efek dari awal yang baik, dan itu sebuah keyakinan. Tahun 2010 ini meninggalkan banyak kenangan yang luar biasa ‘amazing’. I have no words. Semuanya begitu baiknya Allah perjalankan dengan segenap pelajaran di balik semua hal yang terjadi.

Bahkan bila disuruh memilih salah satu tahun terbaik dalam perjalanan pendewasaan diri, tahun 2010 inilah ‘the best one’. Saya akui banyak kesedihan dan keperihan, selain kebahagiaan tentunya. Namun pengayaan 2010 kali ini begitu tajamnya mengasah jiwa. Dan ini semua patut kembali saya syukuri.

Tulisan ini memang sangat emosional, dan personal. Saya senang mengedepankan pengakuan diri yang tulus akan arti diri sebagai manusia biasa. Manusia yang hanya ingin diterima apa adanya. Karena sebenarnya diri ini juga tidak ada apa-apanya dan bukan siapa-siapa. Hanya karena Allah menyelipkan kebaikanNya dan hikmahNya sajalah seseorang itu menjadi ‘apa’ atau ‘siapa’. Hakikatnya diri ini belumlah ada apa-apanya. Namun kebanyakan manusia banyak menyesali dirinya dan cenderung kurang bersabar terhadap sesuatu hal. Sehingga kita sering sulit melihat kebahagiaan lain dalam diri kita, akan apa yang kita ‘miliki’ sekarang, hanya karena kita melihat satu sisi dalam hidup kita, seakan-akan hanya itu yang berharga.

Bagaimana dengan tahun 2011?

Setiap orang pasti punya asa tersendiri di tahun berikutnya. Apapun itu, semoga hidup kita semakin bermakna, semakin positif, semakin mengedepankan hati nurani, dan tetap dapat memberi yang terbaik dalam hidup. Kita harus sadari benar bahwa kebermaknaan hidup kita bukan semata-mata ada dalam diri kita melainkan ada pada orang-orang di sekitar kita, who love us, who care about us. 2011? It getting more… Our Dreams Come True. Amin.

Jalan Amblas, Salahkah Alam?

Jakarta, 17 September 2010

Jalan R.E. Martadinata amblas. Jatuh sedalam sekitar 7 meter. Terjadi pukul 02.00 dini hari (beberapa hari lalu). Alhamdulillah tidak memakan korban jiwa.

Kebanyakan komentar yang keluar dari para ahli, pengamat, komentator, menteri, semuanya selalu mengatakan alasan abrasi, faktor alam, jalan yang sudah tua, selama 30 tahunan, banyak truk berat dan besar lewat. Anda perhatikan bagaimana alasan-alasan tersebut berlandas?

Belum ada yang secara gentlemen mengatakan ada kemungkinan ini faktor kelalaian manusia atau pihak yang berwenang mengawasi kebaikan sarana umum yang sangat vital ini. Ya, lagi-lagi kalau bicara masalah ini selalu mengatakan dalih perlunya diadakan penelitian lebih lanjut mengapa terjadi amblas begini. Ya, lagi, supaya tidak disalahkan juga mengeluarkan statemen yang tidak berdasarkan alasan yang ilmiah.

Tulisan ini bukan untuk mencari siapa yang salah. Namun jika manusia mau memahami ini semua, kenapa yang ‘disalahkan’ selalu faktor alam. Memang sesering apakah alam selalu membuat hidup manusia jadi susah? Seakan-akan alam ‘tiba-tiba’ saja membuat jalan atau tanah di bawahnya menjadi amblas. Lho, memangnya ‘amblasnya’ ini ‘tiba-tiba’ begitu? Ting! Bukankah semuanya (kalau kita mau berpikir) selalu ada PROSES? Semua yang terjadi di alam tidak ada yang kebetulan. Semuanya ada proses. Abrasi atau pendangkalan atau penurunan tanah atau apapun namanya, tentunya merupakan rangkaian sebuah proses yang tidak muncul tiba-tiba. Sebegitu mudahnyakan kita menjadikan alam sebagai alasan utama? Padahal jelas sebelum manusia ada Allah telah menyediakan alam bagi manusia. Bukankah manusia yang (kebanyakan) gemar melakukan kerusakan yang nyata di muka bumi?

Sungguh hanya manusia yang berpikirlah yang memang Allah kehendaki memimpin dunia ini dengan amanah. Sulit kalau kita memegang omongan ahli ini atau ahli itu. Pasalnya setelah kejadian begini barulah ahli tata kota muncul. Memangnya selama ini apa yang sudah mereka lakukan. Kalu memang ‘merasa’ sudah, mana publikasinya? Karena setiap ada kejadian (tanda dari Allah) baru semua ‘merasa’ alam yang jadi masalah. Apa sekarang memang kebanyakan manusia ‘sudah merasa benar’?

Alam ini menunjukkan tandanya. Agar manusia berpikir. Agar manusia merenung sebenarnya apa yang telah mereka lalaikan selama ini. Namun berapa banyak manusia yang berpikir demikian? Toh kebanyakan pula manusia cenderung memikirkan dirinya sendiri. Berpikir sesaat, sejengkal, sementara, hampa. Ya, itulah kenikmatan dunia.

Tanda-tanda terlalu banyak telah Allah tunjukkan agar manusia ingat. Namun entah butuh berapa lama bagi kami untuk memahami ini semua? Mudah-mudahan Engkau karuniakan keturunan yang amanah dan memuliakan NamaMu dari kami agar mereka menjadi generasi yang jauh lebih baik dari kami ini. Wallahu’alam.

Cara Lama yang Membantu Bumi

Barusan, saya baru membeli semangkuk bakso dan sebungkus juice jambu biji. Mangkuk yang saya bawa sebenarnya bukan mangkuk beling, namun semacam baskom kaleng model jadul, kalau boleh dibilang demikian. Ada tutupnya pula.

Sambil menunggu jus buah selesai diblender, semangkuk bakso tersebut pun selesai disajikan. Lalu saya pasang tutupnya. Setelah jus selesai disajikan dan saya sudah membayar, saya bawa semangkuk bakso itu. Mangkuk tersebut ada pegangannya di pinggir kanan dan kirinya. Karena dari kaleng, praktis panas. Olalaaa… akhirnya saya turunkan lengan panjang kaos/pakaian yang saya pakai. Alhasil, berhasil juga pesanan saya malam ini saya bawa pulang. Memang sengaja dibawa pulang karena ceritanya untuk makan malam dengan nasi. Sementara bakso yang saya pesan sengaja tidak memakai mi atau bihun. Saya hanya memesan toge dan sawi. Tanpa mecin pula.

Pulangnya saya tersenyum-senyum dan terbersit ingin langsung menulis di blog ini. Kenapa ya saya repot-repot begini? Sebenarnya simple saja. Saya mencoba menerapkan gaya hidup dengan mengurangi penggunaan plastik. Selain untuk mengurangi penambahan sampah anorganik. Dan lagi menggunakan plastik untuk bahan makanan yang panas itu juga memicu kanker (menurut informasi yang pernah saya dapatkan). Akhirnya ya sudah. Setiap mau menikmati bakso atau apapun yang butuh dibungkus, saya lebih memilih makan di tempat saja. Atau kalau memang jaraknya dekat, pakai saja metode lama yang saya praktikkan tadi. Rasanya lucu juga jadi teringat masa lalu waktu plastik belum membudaya, meskipun memang memudahkan, dalam beberapa hal.

Wallahu’alam.

Kutunaikan Janjiku Padaku!

Kisah kali ini benar-benar momen yang unik sekaligus menjadikan diri beda, newest, dan yakin. Sebuah proses dialog yang luar biasa terasa maknanya bagi seorang diri yang bukan siapa-siapa ini, kecuali sebagai hambaNya yang lemah.

Pagi itu, Ahad, 2 Mei 2010, kemarin tepatnya. Saya pergi ke tempat favorit kalau sedang ingin jalan-jalan, kemana lagi kalau bukan ke Gramedia Matraman. Biasa, sampai di perempatan Mambo, saya menunggu bis 948 jurusan Kampung Melayu. Rute dari Priuk menuju Matraman memang yang satu kali naik hanya bis ini. Kalau naik rute lain, waduh! Bisa total 4 kali pergi aja dari rumah. Ampun deh! Ya, masalahnya tuh bis terkenal lama munculnya. Alhasil, sekitar hampir setengah jam saya menunggu akhirnya dapat juga, dan Alhamdulillah bisa duduk juga.

Nah, pas pulangnya ini. Lepas cari buku, hmm…Alhamdulillah dapat 6 buku sekaligus untuk bahan kuliah- saya shalat zuhur. Sekitar pukul 14.00 saya tunggu bis 948 tersebut lewat lagi.

Masyaallah…ternyata lamaaaa….minta ampun. Kalo boleh nyesel mah nyesel kali ya. Tapi Alhamdulillah hati nih lagi diterapi sama ujian-ujian hati akhir-akhir ini 🙂

Hasilnya? Hampir 45 menit menunggu, hati sudah mulai gelisah. Namun sebelum kegelisahan itu mengubah niat naik 948, saya berkata dalam hati, “Ok, kalau 15 menit lagi ga ada, naik lewat Senen aja, deh!”

Akhirnya menunggulah lagi saya. Lima menit sudah lewat, rupanya nih hati makin gelisah aja. Kaki saja sudah bolak-balik kayak setrikaan. Malah nih tangan malah ingin menyetop mikrolet 01A. Tapi serta merta suara hati saya tiba-tiba bilang, “Hei, kamu kan tadi udah komitmen! Apa salahnya kamu tunggu sampai 10 menit lagi? Setidaknya kamu sudah komitmen sama janjimu sendiri!! Apa salahnya sih kamu tunaikan janji kamu sendiri. Kalo kamu akhirnya tidak bisa komitmen begini, mendingan tadi ga usah pake komitmen 15 menit lagi segala! Buat apa! Dari awal aja naik mikrolet, ga usah pake janji!”

Nah, lho! Akhirnya nyadar juga (sementara). Karena lima menit berikutnya mulai gellisah lagi. MasyaAllah deh. Godaan naik mikrolet makin jadi aja. Hampir juga tuh nyetop mikrolet.

Akhirnya saya sabar lagi menanti…menanti…menanti…sampai saya lihat kembali arloji di pergelangan tangan kiri saya, Ya…sudah tepat pukul 15.00.  Saya berencana naik mikrolet saja. Sudah buang-buang waktu nih kalau begini caranya.

Ketika saya hendak melangkah, saya lihat ke kanan. Eh…ternyata drai jauuhhh…banget terlihat bis kuning oranye. Sampai dilihat berulang kali…lihat lagi…lihat lagi… benar!! Ternyata itu bis 948.

Betapa senangnya tak berbilang! Sederhana sebenarnya. Apa sih artinya nunggu bis? Yang membuat saya bangga adalah bahwa ketika saya berkomitmen dengan pernyataan saya sendiri, ternyata Allah memberikan janjinya. Dan perjuangan itu ternyata tidak pernah sia-sia. Hanya bentuknya dan waktunya yang perlu kita maknai. Sebenarnya malah hampir nih badan jingkrak-jingkrak kecil, saking senangnya. Saya jadi tidak menyesali yang terjadi, kayaknya puasss…banget.

Mungkin itulah kombinasi dari niat, itikad, kesabaran, positive thinking, internal dialogue, kecemasan, godaan, ketangguhan, kesetiaan, janji, komitmen, alarm kesadaran, pasrah, tabah, keyakinan, akhirnya….sebuah hadiah.

Keteguhan dan kesetiaan saya pada nilai yang saya buat sendiri tidak boleh dianggap enteng. Saya tidak pernah mengindahkan apa yang saya katakan sendiri selama saya sadar. Karena apa artinya membuat janji atau komitmen bila kita sendiri tidak bisa mengejarnya. Kita ingin pada apa yang dituju. Tapi kita cenderung malas melalui jalan dan persyaratan serta resikonya. Itulah kita, tidak setia.

Tapi itu semua saya syukuri karena saya bisa mengukur kapasitas diri saya sendiri. Komitmen dan kawan-kawannya yang saya sebutkan di atas meniadakan keegoisan saya pada diri saya sendiri. Pada nilai-nilai kebaikan yang saya perjuangkan. Saya tidak menyerah dan saya bersyukur akan hal itu. I never regret for it.

Pelajaran diri yang indah…saya menguji saya sendiri…menjalani tesnya…melihat hasilnya…Alhamdulillah. Allah Maha Tahu segalanya.